TEORI HUKUM MEMECAHKAN BERBAGAI PERSOALAN HUKUM

Oleh ; Ruslan H.R. (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta)

I. Latar Belakang Masalah.

Sebahagian masyarakat Indonesia masih ada yang beranggapan, bahwa teori berada di kawasan yang jauh daripada praktis, bahkan sering menimbulkan kesan tidak praktis dan kurang membantu memecahkan persoalan-persoalan secara konkret. Singkat kata, teori itu menghambat, bertele-tele, dan memusingkan. Pendapat tersebut, tentu saja tidak benar. Fungsi utama teori adalah memberikan penjelasan terhadap suatu masalah. Semakin baik kemampuan suatu teori untuk menjelaskan, semakin tinggi penerimaan terhadap teori tersebut. Apabila di kemudian hari muncul  teori baru yang mampu memberikan penjelasan yang lebih baik, maka teori yang lama pun akan ditinggalkan. Hal tersebut sangat lumrah dalam dunia ilmu pengetahuan.

Pada tanggal 5 Oktober 2010, penulis  membaca majalah ”Forum Keadilan”, edisi No. 22 tanggal 3 Oktober 2010, sebuah karya tulis,  oleh Dr.Binsar Gultom,S.H.,M.H.,  dengan judul CALON HAKIM AGUNG VERSUS KARIER. Tulisan tersebut sangat menarik untuk  dibaca dan secara jujur, harus diakui bahwa memang mungkin ada benarnya, akan tetapi secara teori, belum tentu setiap orang yang membaca mau menerima dan memahami apa yang ditulis dan dimaksudkan oleh penulisnya. Kenapa? Karena tulisan tersebut sama sekali tidak mengemukakan suatu teori, artinya secara ilmiah sangat sulit untuk dipertanggungjawabkan, sehingga isi dan materi dari tulisan itu, orang lain pasti ada yang menilai secara subjektif. Mungkin ada pembaca yang menilai bahwa tulisan itu tidak lebih dari sebuah opini, karena sifatnya tulisan bebas atau mungkin pula tulisan itu, diaspirasi oleh perasaan tidak puas dari  kalangan orang-orang karir  yang kebetulan tidak lolos menjadi hakim agung. Pendek kata banyak kemungkinan?. Teori yang menarik dalam kasus ini adalah teori yang ada dalam Islam, bahwa; ”apabila sesuatu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya kehancuran”. Teori ini singkat, tetapi menusuk hati sanubari dan sebagaimana fakta yang ada dalam berbagai aspek kehidupan, kelihatannya teori ini benar dan diterima oleh akal sehat.

Suatu ilmu tanpa teori yang kuat, bagaikan bangunan tanpa pondasi yang kukuh. Demikian juga ilmu hukum sebagai suatu sistem keilmuan sangat membutuhkan penguasaan wawasan berbagai ”teori hukum” (Legal Theory, The Philosophy of Law, Jurisprudence), maupun ”konsep hukum” (The Legal Precepts), terutama dalam rangka mengisi pembangunan di bidang hukum dalam  era reformasi . Bukan hanya tuntutan lahirnya suatu atau berbagai peraturan perundang-undangan yang baru, tetapi juga termasuk paradigma baru hukum, yang cocok bagi iklim perubahan Indonesia di abad kedua puluh satu ini.

Salah satu contoh yang menarik, suatu peristiwa yang memerlukan sebuah teori, untuk memecahkan kebuntuan atas munculnya beberapa opini dan pendapat, ketika Jaksa Agung RI, Hendarman Supanji,  dinilai oleh berbagai pihak illegal (tidak sah). Kenapa tidak sah?, karena pada saat pelantikan Kabinet Pemerintahan Jilid II oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, Hendarman Supanji tidak ikut dilantik sebagai Jaksa Agung RI, padahal Jaksa Agung,  adalah salah satu jabatan, pejabat negara yang  ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid II.

Oleh karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka sudah barang tentu dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus ini, harus melalui pendekatan teori hukum. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi, dan mengingat negara Indonesia  bukan negara kekuasaan semata, maka atas gugatan yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra (mantan Menteri Kehakiman) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, yang inti amar putusannya, dapat dipahami,  bahwa terhitung sejak tanggal 24 September 2010, pukul 14.30 WIB, Jaksa Agung RI, dinyatakan tidak ada (kosong), lalu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Presiden RI menerbitkan pemberhentian dengan hormat Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung RI dan menunjuk Wakil Jaksa Agung Dariatmo sebagai Pelaksana Tugas.

Dari kasus ini timbul masalah baru, bahwa bagaimana mungkin seorang Jaksa Agung yang tidak pernah diangkat, lalu diberhentikan?. Permasalahan ini tidak bisa dijawab dengan argumentasi biasa dalam sebuah  debat kusir, tetapi harus dijawab dan diselesaikan dengan argumentasi hukum atau logika hukum dengan menggunakan rekonstruksi teori hukum. Nampaknya Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memberi putusannya, tidak lepas dari penafsiran analogis dan  penafsiran ekstensif, dengan asumsi berpikir pada pokoknya sebagai berikut; ”bahwa karena jabatan Jaksa Agung RI termasuk  jabatan yang ada dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I, bersamaan dengan adanya jabatan  para Menteri selaku pejabat negara, maka jabatan Jaksa Agung dianalogikan sama dan setingkat dengan jabatan Menteri.  Karena jabatan Menteri dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I telah diberhentikan oleh Presiden, maka penafsiran ekstensifnya bahwa jabatan Jaksa Agung RI pada Kabinet Pemerintahan Jilid I, harus pula diberhentikan. Mengapa harus digunakan penafsiran ekstensif, karena masa berakhirnya jabatan Jaksa Agung tidak diatur dalam undang-undang kejaksaan. Lalu kemudian timbul pertanyaan, apa mungkin suatu jabatan dalam negara tidak memiliki  batas akhir masa jabatan?. Secara teori hukum administrasi negara tidaklah mungkin hal itu terjadi, sebagai konsekuensi Indonesia adalah negara hukum, bukan negara otoriter (kekuasaan belaka).

Oleh karena Presiden tidak melakukan pemberhentian terhadap Jaksa Agung, maka Jaksa Agung, dinilai illegal dan tidak memiliki legal standing dalam berperan melakukan penegakan hukum di Indonesia dan dapat ditafsirkan bahwa semua kegiatan dan kebijakan yang diambil oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji , sejak diberhentikannya para pejabat negara (para Menteri) dalam Kabinet Pemerintahan Jilid I, dianggap tidak sah (illegal).

Berdasarkan hal tersebut terjadilah kekosongan hukum dan oleh Mahkamah Konstitusi telah tampil mengisi kekosongan tersebut. Oleh karena itu terhadap kasus ini, penulis berpendapat bahwa secara formal, Jaksa Agung RI memang dapat dinilai sudah tidak ada, sejak diberhentikannya para Menteri Kabinet Pemerintahan Jilid I, tetapi tidak dapat dinilai illegal atas semua kebijakan yang telah diambil selama ini oleh Hendarman Supanji selaku Jaksa Agung. Mungkin kasus ini  tepat pula diterapkan , teori kemaslahatan yang ada  dalam  hukum Islam, dan dikenal dengan istilah ”al-mashlahatul dharuriyah”. Akan tetapi secara materiil, terhitung sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan oleh hakim Mahkamah Konstitusi, maka eksistensi keberadaan Jaksa Agung RI, sudah tidak diakui lagi, baik secara formal maupun secara materiil.

Demikianlah beberapa contoh kasus yang menggambarkan betapa pentingnya untuk mengetahui dan memahami teori-teori hukum, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam mempelajari berbagai teori dan konsep hukum Barat, maka seyogianya sebagai akademisi hukum ataupun praktisi hukum,  harus pula dilakukan kajian dan analisis kritis, sehingga dapat dilakukan apa yang disebut rekonstruksi teori hukum.

Sejalan dengan itu tentunya terlebih dahulu harus dipahami perjalanan sejarah lahirnya suatu teori dan konsep hukum, di mana semua teori dan konsep hukum itu didasarkan pada pandangan atau aliran filsafat tertentu yang merupakan bagian dari suatu peradaban tertentu. Teori-teori yang sifatnya legalistik, dogmatik, normatif, positivistik, jelas-jelas merupakan produk Barat, yang serupa dengan paham filsafat liberalis, individualis, dan sekuler di Barat, yang tentu saja diantara sekian banyak  teori hukum atau konsep hukum itu, ada  yang  tidak sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Sehubungan dengan itu, merupakan suatu keniscayaan, perlu dipadukan antara kajian historis dan kajian komparatif dalam memahami dan mencoba melakukan rekonstruksi teori hukum. Harus dilakukan kajian komparatif yang membandingkan teori dan konsep hukum Barat di satu pihak, dengan teori dan konsep hukum Timur, di lain pihak, termasuk dengan teori dan konsep hukum Islam.

Salah satu contoh yang menarik dan belum terlupakan di benak kita, yaitu  kasus Bank Century, di mana di perlemen (DPR), telah dilakukan langkah dan upaya demokrasi dengan cara para anggota DPR dipersilahkan memilih, opsi A atau opsi C. Pilihan ini dilakukan dalam menentukan benar  atau tidaknya terdapat pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century,  yang pada akhirnya telah dilakukan vooting pada sidang pleno. Hasil vooting suara, ternyata suara terbanyak ada  pada opsi C, sehingga DPR menyimpulkan bahwa dalam kasus Bank Century terdapat pelanggaran hukum dan hasil pleno DPR tersebut, harus dibawa ke rana hukum. Persoalannya sekarang, dan menimbulkan pertanyaan besar bahwa apakah benar suatu kebenaran harus ditempuh dan diperoleh dengan cara atau melalui hasil vooting suara?.  Mengingat suara terbanyak sebagai produk demokrasi lembaga legislatif (DPR) yang berdasarkan pada teori kedaulatan negara, pendapat itulah yang dijadikan sebagai tolok ukur, untuk menentukan pilihan pendapat, atas kasus yang terjadi pada Bank Century.  Apakah dikemudian hari benar atau tidak benar, hal itu tidak menjadi soal. Yang pasti, pihak KPK baru-baru ini menyatakan bahwa pihaknya sulit menemukan bukti-bukti yang kuat, tentang adanya penyimpangan dan pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century.

Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum haruslah netral dan dapat diterapkan pada siapa saja secara adil, tanpa memandang kedudukan, jabatan, kekayaan, dan ras. Hukum dalam implementasinya harus dipisahkan dari politik. Fenomena sosial yang muncul akhir-akhir ini, kadang suatu kasus/permasalahan, sudah jelas masuk dalam rana hukum, masih dipermainkan dalam rana politik. Atau sebaliknya suatu kasus/permasalahan berada dalam rana politik, dipaksakan untuk masuk dalam rana hukum. Akibatnya timbul berbagai permasalahan yang berlarut-larut tanpa ada penyelesaian hukum ataupun penyelesaian politik, yang akhirnya melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan.

Solusi yang dapat dilakukan, bahwa tidak semua teori dan konsep hukum Barat harus kita tolak, sebab tentu saja terdapat bagian dari teori dan konsep Barat yang mungkin cocok untuk diterapkan di masyarakat Indonesia. Untuk itu harus ada proses analisis yang akurat untuk mampu memilah-milahnya. Selain itu, juga harus digali dan dipetik berbagai teori dan konsep hukum Islam, yang dalam sejarah peradaban, pernah menciptakan suatu masyarakat yang benar-benar madani, terutama di masa keemasan Islam. Penerapan hukum Islam di zaman Nabi Muhammad SAW, terbukti mampu mengimplementasikan secara konsisten ”keadilan substansial”, dan sama sekali tidak menomorsatukan ”keadilan prosedural-formal” seperti yang didewa-dewakan oleh dunia Barat selama ini.

Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang timbul, adalah ; sejauhmana peranan teori hukum dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang timbul di kalangan masyarakat Indonesia?

 

II.  Menguak Beberapa Teori Hukum

1.Teori Kedaulatan Tuhan.

Teori ini menyatakan bahwa hukum merupakan suatu bentuk kehendak atau kemauan Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, wajib untuk menaati hukum yang berasal dari Tuhan. Dalam teori kedaulatan Tuhan ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Teori kedaulatan Tuhan yang langsung; membenarkan perlunya hukum yang dibuat oleh raja-raja yang menjelmakan dirinya sebagai Tuhan di dunia. Sedangkan teori yang tidak langsung menyatakan bahwa raja-raja hanyalah merupakan wakil Tuhan di dunia.

Teori ini kalau dikaji secara mendalam, maka teori ini hakikatnya, sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang religius, di mana falsafah negara RI berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan di dalam teori Islam, dikenal pula bahwa Al-Qur’an itu adalah firman Tuhan dan Al-Hadis merupakan sabda Nabi Muhammad SAW, yang kedua-duanya merupakan sumber hukum dalam Islam.

 

2. Teori Kedaulatan Negara.

Teori Kedaulatan Negara ini dipelopori oleh John Austin, yang esensi ajarannya adalah ;”Law..was the command of sovereign, artinya; hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Hal ini dapat diikhtiarkan bahwa kedaulatan negara yang digunakan itu, berdasarkan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh pihak yang berkuasa. Dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal dan eksternal. Sehingga prinsip demokratisasi yang didengung-dengungkan oleh Amerika Serikat, kemudian diadopsi oleh Indonesia, lalu untuk memperlihatkan keindonesiannya, dibingkai dengan istilah ”Demokrasi Pancasila” dan   itulah yang dianggap  terbaik, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral, melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa.[1] Hukum ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirkannya, dan penafsir akan menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingannya sendiri, sehingga yang namanya keadilan hanya merupakan semboyan retorika yang digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan, dan keinginan pihak minoritas tidak pernah menjadi hasil penafsiran hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan hukum.[2]

Fakta di depan mata, penegakan hukum di Indonesia masih carut marut, dan hal ini sudah diketahui dan diakui bukan saja oleh orang-orang yang sehari-harinya berkecimpung di bidang hukum, tetapi juga oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan juga komunitas masyarakat internasional. Bahkan banyak pendapat yang menyatakan bahwa penegakan hukum, acap kali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, padahal seharusnya penegakan hukum merupakan ujung tombak terciptanya tata hukum yang baik dalam masyarakat.

Sesungguhnya prinsip demokrasi yang dianut dan dikomandoi oleh Amerika Serikat, belum tentu cocok dengan situasi dan kondisi kehidupan kenegaraan yang ada di Indonesia. Sebab jika kita mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi, maka pada hakikatnya di dalamnya terdapat suatu aksioma bahwa pihak yang kuat akan mengalahkan pihak yang lemah dan pihak  yang berkuasa mengalahkan pihak yang tidak berkuasa. Dalam teori kenegaraan dalam Islam tidak dikenal prinsip demokrasi, tetapi yang dianut dan dijunjung tinggi dalam Islam adalah prinsip musyawarah mufakat.

Apakah warga negara memiliki kewajiban moral natural untuk mematuhi negara? Atas dasar apa negara mewajibkan masyarakat mematuhi hukum? Apakah negara itu sendiri memang legitim dan karenanya berwenang memaksakan kehendaknya pada masyarakat? Inilah beberapa gugatan kritis yang diajukan kepada negara, ketika masyarakat mengalami bahwa hukum sesungguhnya tidak secara adil memihak pada kepentingan segenap warga negara. Gugatan ini memperlihatkan bahwa pendekatan prosedural formal dalam penegakan hukum tidak mencukupi untuk menjamin hak segenap warga negara.

Kecenderungan mengedepankan pendekatan prosedural formal, di satu pihak; dan mengabaikan substansi hukum, di lain pihak, dapat menjadi indikasi ketidakmampuan negara memenuhi fungsi pokoknya sebagai pembela dan menjamin pelaksanaan hak warga negara. Kenyataan ini sekaligus menjadi lonceng kematian keadilan, ketika hukum sebagai iuris secara sadar dilepaskan dari dimensi substansinya sebagai ius.

Karena itu, beralasan untuk menegaskan bahwa hukum, bukan sekedar sekumpulan peraturan. Hukum adalah norma untuk menjamin dan melindungi hak warga negara. Itulah sebabnya penganut teori hukum kodrat ataupun pendukung positivisme berpendapat bahwa tujuan hukum hanya dapat tercipta apabila hukum dibangun dengan kesadaran dan tanggungjawab moral untuk membela keadilan. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimnya (ultimate end), hukum akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Karena itu, apakah itu hukum? dan apakah warga negara wajib mematuhi hukum?, merupakan dua pertanyaan krusial dan mendasar yang tetap relevan diajukan, juga dalam negara demokratis sekalipun seperti kita di Indonesia. Pertanyaan ini membantu kesadaran kolektif masyarakat untuk senantiasa secara kritis mengawal hukum yang berlaku, agar hukum sungguh-sungguh secara adil mengabdi pada kepentingan semua pihak.

Untuk itu terhadap semua teori dan konsep hukum Barat, harus ada proses analisis yang akurat untuk mampu memilah-milahnya. Selain itu, juga harus digali dan dipetik berbagai teori dan konsep hukum Islam, yang dalam sejarah peradaban, pernah menciptakan suatu masyarakat yang benar-benar madani, terutama di masa keemasan Islam. Penerapan hukum Islam di zaman Nabi Muhammad SAW, terbukti mampu mengimplementasikan secara konsisten ”keadilan substansial”, dan sama sekali tidak menomorsatukan ”keadilan prosedural-formal” seperti yang didewa-dewakan oleh dunia Barat selama ini.

 

3. Teori Kedaulatan Hukum .

Teori ini menyatakan bahwa hukum itu bersifat mengikat, bukan karena dikehendaki oleh negara, namun lebih  dikarenakan kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri. Prof.Mr.H.Krabbe dalam bukunya ”Die Lehre Rechtssouvernitat” berpendapat bahwa kesadaran hukum berpangkal pada perasaan setiap individu yaitu bagaimana seharusnya hukum itu.[3]

Teori ini dalam tataran praktical, sedikit mengalami kesulitan, karena tingkat kesadaran hukum, masing-masing orang pasti berbeda dan sangat bergantung pada faktor kepentingan yang ingin dicapai. Salah satu contoh yang nampak di permukaan, bahwa betapa banyak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam sengketa tata usaha negara, yang tidak mau dilaksanakan oleh pihak yang kalah, terutama kalau yang dikalahkan adalah pihak penguasa. Mengapa?, karena merasa kebijakannya dirugikan. Yang sangat disayangkan, ketika pihak yang kalah ini, tidak mau menerima kekalahannya, ada pihak-pihak tertentu yang mengompori atau mempropokasi masalah tersebut, akibatnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, tidak dapat dilaksanakan, karena adanya perlawanan terhadap putusan  Pengadilan oleh pihak yang kalah .

Contoh yang lain putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilkada, banyak daerah yang tidak mau melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal lembaga ini adalah pengawal konstitusi. Kenapa demikian karena pihak yang kalah dalam Pilkada tidak mau secara demokratis menerima kekalahan tersebut. Mereka lebih cenderung mencari-cari masalah, agar pihak yang kalah dapat memperpanjang masa jabatannya, minimal akan mendapatkan kesempatan dalam posisi atau kedudukan caraceter sebagai pelaksana tugas sebagai Bupati/Walikota dan pada akhirnya pihak yang menang dalam Pilkada tidak mendapat tempat dan kesempatan untuk tampil sebagai pimpinan daerah.

 

4. Esensi ajaran Thomas Aquinas.

Teori hukum ini berkembang pada abad pertengahan. Aquinas berpendapat; ”hukum pada dasarnya merupakan cerminan tatanan Ilahi. Legislasi hanya memiliki fungsi untuk mengklarifikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Tugas hakim adalah menegakkan keadilan melalui fungsinya menerapkan hukum dalam kaitan dengan pemberlakuan undang-undang”[4].

Pemikiran Aquinas ini hanya bisa dipahami dalam konteks kosmologi, artinya mengizinkan penalaran rasional selama batas-batas yang ditetapkan oleh wahyu Ilahi, tidak dilanggar. Penerapan hukum positif pada kasus riil, harus dibaca sebagai implementasi hukum Ilahi. Dalam konteks itulah Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu, dengan hukum yang dijangkau oleh akal manusia.

Teori ini masih dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, karena pengaruh ajaran agama yang mereka pahami dan yakini selama ini. Seperti diketahui masyarakat Indonesia  sebagian besar penganut-penganut Islam yang fanatik dan  sumber hukum mereka yang  diyakini  kebenarannya, di samping  Al-Quran dan As-Sunnah, juga ijetihad di kalangan para ulama fikih. Hukum yang berasal dari wahyu adalah Al-Quran dan As-Sunah, sedangkan hukum yang dijangkau oleh akal manusia adalah ijetihad. Dengan membuka pintu ijetihad, maka dengan sendirinya akan lahir teori-teori hukum baru yang sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat itu sendiri.

 

5. Esensi ajaran Rudolf Stammler.

Teori hukum ini berkembang pada abad ke 20 . Stammler berpendapat, apa yang dikehendaki manusia dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur. Untuk menjamin hidup bersama yang teratur itu, dibutuhkan perbuatan, yakni pengaturan segala hal yang terdapat dalam kehidupan bersama itu. Perbuatan mengatur itu, wujudnya adalah hukum. Hidup bersama yang teratur, menghendaki adanya hukum sebagai penjamin keteraturan. Kehendak akan hukum itulah yang oleh Stammler disebut kehendak yuridis. Kehendak yuridis ini harus menjadi dasar dan syarat seluruh aturan hukum positif. Tanpa kehendak yuridis (menjamin keteraturan dalam hidup bersama), suatu aturan hukum positif tidak memiliki arti normatif . Oleh karena itu ”kehendak yuridis (dalam arti formal) inilah yang merupakan prinsip terakhir segala pengertian tentang hukum. Ia tidak berkaitan dengan isi kaidah hukum, sebaliknya ia merupakan bidang formal. Sifat mewajibkan (sifat normatif) dari hukum harus bertolak dari segi formalnya (bentuknya), bukan isinya (matreri)”.[5]

Pendek kata, hukum merupakan kehendak yuridis manusia sebagai kebutuhan dan kesadaran bersama, bukan orang per orang dan di dalamnya lahir komitmen dan kesepakatan bersama, karena itu ia bersifat obyektif sebagai patokan obyektif bagi keteraturan hidup bersama. Di sinilah kemudian melahirkan makna transedental yang sifatnya mewajibkan, di mana kehendak yuridis menuntut supaya orang-orang menaati aturan-aturan hukum. Jadi hukum itu menuntut secara legal.

Sejalan dengan teori ini dapat dipahami dan dicontohkan bahwa kehidupan bersama sebagai  suami istri adalah suatu kebutuhan dan di dalam  memenuhi akan kebutuhan itu, diperlukan aturan hukum yang harus ditaati yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban. Ketika terjadi konflik antara suami istri dalam bentuk syikak, maka dibutuhkan lagi aturan hukum yang mengatur tentang tata cara penyelesaian konflik. Hal mana telah diatur  dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sebagaimana diubah dan disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

 

6. Esensi ajaran Hans Kelsen.

Teori hukum ini, berkembang pada abad 20. Kelsen berpendapat bahwa teori hukum yang murni haruslah bersih dari politik, etika, sosiologi dan sejarah. Menurut Kelsen hukum berurusan dengan bentuk forma, tidak berurusan dengan materia (isi). Sedangkan keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Oleh karena itu gagasan-gagasan mengenai keadilan haruslah menjadi tema di dalam politik, tidak di dalam hukum. Ilmu hukum adalah suatu hirarki mengenai hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat. Demikian pula Kalsen hanya berbicara mengenai hukum sebagai yang ada (law is it is), tidak sebagai yang seharusnya ada (law as ought to be). Obyek tunggal hukum adalah “menentukan apa yang dapat diketahui secara teoritis tentang tiap jenis hukum pada tiap waktu dan dalam tiap keadaan.[6]

Dari uraian di atas, dapat penulis sebutkan dasar-dasar esensial dari teori Kelsen, sebagai berikut ;

a. Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.

b. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.

c. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

d. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

e. Teori hukum adalah formal; suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus.

f. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang ada.[7]

Dari uraian tersebut, Kelsen menganggap bahwa ada perbedaan antara norma hukum dan norma moral, terutama sekali dilihat dari segi sanksinya.  Kelsen dianggap sebagai pencetus teori murni tentang hukum, di samping sebagai pencetus dan berjasa mengembangkan teori jenjang yang dicetuskan oleh Adolf Merkl ( 1836-1896), yaitu; teori yang menganggap susunan hukum berbentuk piramida, di mana hukum yang lebih rendah harus sesuai dengan hukum yang lebih tinggi.

Sejalan dengan teori ini, dapat dicontohkan bahwa Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2008 tentang Mediasi sebagai peraturan hukum yang lebih rendah, telah sesuai dengan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai peraturan hukum yang lebih tinggi dan juga telah memenuhi maksud surat An-Nisa ayat 35 sebagai hukum ilahi, yang di dalamnya mengatur tentang pengutusan atau pengangkatan hakam dalam perkara syikak di Pengadilan Agama.

 

7. Esensi Positivisme Hukum menurut H.L.A  Hart;

Teori hukum ini menyebutkan antara lain adalah;” that laws are commands of human beings” artinya hukum adalah perintah. Juga dikatakan “that there is no necessary connection between law and morals or law as it is and law as it ought to be”, artinya tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, dan yang diinginkan. Selanjutnya Hart berpendapat ; “that a legal system is a closed logical system in which correct decisions can be deduced from predetermined legal rules by logical means alone”, artinya system hukum adalah system tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya.[8].

Sejalan dengan itu teori ini menghendaki, bahwa apapun bunyi pasal yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan sebagai contoh, Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang mengatur tentang proses syikak, harus diwujudkan dalam kenyataan.

 

8. Esensi ajaran John Austin.

Teori hukum ini menganut  aliran positivis dan disebutkan bahwa ;”Law .. was the command of sovereign, artinya hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya.

Konsep tentang kedaulatan Negara (doctrine of sovereignty) mewarnai hampir keseluruhan dari ajaran Austin. Hal mana dapat diikhtisiarkan antara lain sebagai berikut a.Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal.

b.Sifat eksternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional, sedangkan sifat internal kedaulatan negara tercermin pada hukum positif.[9] .

Sejalan dengan teori ini dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sebagai produk kedaulatan negara yang normatif, harus dilaksanakan secara utuh dan sempurna.

Sedangkan dasar berpikir yang bersifat sosiologis dan filosofis ialah sesuai ajaran yang dikembangkan oleh tokoh aliran sosiologis, tokoh aliran neo positivisme, dan juga tokoh aliran utilistis,  yaitu ;

9. Esensi ajaran Talcott Parsons.

Teori hukum ini lahir dari penganut aliran sosiologis, penulis dapat mengemukakan  bahwa Parsons melihat masyarakat sebagai salah satu totalitas yang mempunyai dua macam lingkungan, yaitu: ultimate reality dan fisik organik. Untuk menghadapi kedua lingkungan tersebut, masyarakat mengorganisir diri ke dalam beberapa sub-sistem, masing-masing : sub sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya. Menurut Achmad Ali, tiap-tiap sub sistem memiliki fungsi khas, yaitu;

a.Sub sistem ekonomi berfungsi adaptasi ( adaptation ), berarti bagaimana masyarakat itu memiliki  fungsi yang dapat memamfaatkan sumber daya di sekitarnya secara fisik organik.

b.Sub sistem politik berfungsi pencapaian tujuan ( goal pursuance ), berarti setiap warga masyarakat selalu mempunyai kebutuhan untuk mengetahui ke arah mana tujuan masyarakat itu digerakkan. Dengan politik, masyarakat dihimpun sebagai satu totalitas untuk menentukan satu tujuan bersama. Contohnya; masyarakat Indonesia bertujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

c.Sub sistem sosial berfungsi integrasi ( integration ), berarti proses/hubungan di dalam masyarakat diintegrasikan menjadi satu, sehingga masyarakat dapat merupakan satu kesatuan. Contohnya dengan adanya peraturan perkawinan, maka diintegrasikan orang-orang yang telah menikah itu  mengadakan hubungan suami istri.

d.Sub sistem budaya berfungsi mempertahankan pola ( pattern   maintenance ), berarti tanpa kebudayaan, maka masyarakat tidak dapat berintegrasi dan tidak dapat berdiri sebagai kesatuan. Contohnya mengusahakan adanya ”pattern maintenance” melalui penataran P4.[10]

Parsons memandang manusia dalam dua wujud, yakni ;

i.Manusia sebagai individu yang memiliki empat sub sistem, yaitu ; cultural system, social system, personality, dan behavioral organism.

ii.Manusia sebagai warga masyarakat yang memiliki empat sub sistem, yaitu ; cultural system, social system, political system dan economy sistem.[11]

Secara ”behavioral organism”, manusia pada umumnya sama,tetapi mengapa kepribadiannya berbeda-beda? Ini disebabkan karena secara kultural, mereka berbeda-beda. Jika Aco, Becce dan La Tuwo masing-masing  melakukan hubungan secara timbal balik, maka selain pisik mereka berhubungan, juga berhubungan kepribadian mereka. Hubungan inilah yang membentuk ”social system”. Interaksi di dalam masyarakat berbentuk ” system of expectations”.inilah yang mengakibatkan kalau manusia itu masuk ke dalam jaringan ”social system”, maka dengan sendirinya manusia itu telah berada dalam jaringan ”system of expectations” .

Apa yang dimaksud dengan ”system of expectations” , penulis dapat memberikan contoh sebagai berikut ; ”Di dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya, tidak hanya terjadi interaksi antara seorang pria dewasa yang kebetulan berstatus ayah dengan seorang wanita dewasa yang kebetulan berstatus ibu dan juga dengan manusia-manusia kecil yang kebetulan berstatus anak, melainkan justru yang menjadikan ciri sebagai keluarga adalah adanya ”system of expectations” , yaitu terjadinya harapan-harapan akibat terjadinya perubahan status dari status bujang menjadi suami dan dari status gadis menjadi istri.

Perubahannya antara lain, pada waktu masih bujangan, si pria tadi biasanya ada yang bebas keluyuran di luar rumah sampai pagi, bebas pacaran dengan beberapa orang wanita, bebas berpoya-poya dengan menghabiskan gajinya atau penghasilannya.  Tetapi dengan selesainya pria tadi menikah dan statusnya pun berubah menjadi suami, maka muncullah ”expectation” sebagai suami. ”Expectation” atau sesuatu yang diharapkan dari seorang ayah itu adalah bahwa keadaan seperti dulu ketika ia masih bujang, tidaklah benar  jika ia masih mau mengulanginya lagi.

Demikian pula sebaliknya pada si istri. Ketika ia masih gadis, ada diantaranya yang bebas berteman dan bergaul dengan pria mana saja yang diinginkannya  dengan aneka ragam alasan; teman sekolah, teman kerja, teman gaul atau teman akrab, sudah kayak saudara dan sebagainya. Sehari semalam tentu boleh saja digunakan untuk berdandan di depan cermin, tetapi dengan perubahan statusnya setelah menjadi istri, muncullah ”expectation” sebagai istri. ”Expectation” atau sesuatu yang diharapkan dari seorang istri itu, adalah bahwa  keadaan dan kebiasaan seperti ketika ia masih gadis, sudah salah jika ia masih ingin meneruskannya.

Apa arti suami?, apa arti istri?, dan apa arti anak?. Tentu memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Seorang suami memiliki ”expectation”, dalam arti; diharapkan untuk tidak lagi bagadang dan membuang-buang waktu, lalu pulang ke rumah pada pagi hari, tidak bergaul bebas dengan wanita-wanita lain yang bukan muhrimnya dan tidak menghabiskan gajinya atau penghasilannya buat berpoya-poya di luar rumah. Demikian pula seorang istri memiliki ”expectation”, dalam arti diharapkan untuk tidak bergaul ”bebas” dengan pria lain, selain  suaminya, juga tidak hanya mengurus dirinya sendiri sampai berdandan berjam-jam lamanya, hanya untuk kepentingan penampilan di luar rumah dan untuk kepentingan orang lain, sementara di rumah tidak  menghiraukan suaminya, bahkan cenderung berpenampilan alakadarnya dengan pakaian yang kusut, kotor dan berbau aroma yang tidak menyenangkan. Demikian pula seorang anak memiliki ”expectation”, bahwa apa yang ia harus lakukan terhadap kedua orang tuanya, baik dalam bentuk ketaatan maupun dalam bentuk pengabdian.

Pada kenyataannya ”expectations” atau harapan-harapan itu, tidak selalu selaras dengan ”performance” atau kenyataan. Ketika terjadi perbedaan antara ”expectation” dengan ”performance”, maka hubungan itu  menjadi tidak ideal, muncul sikap dan perilaku yang egois, yang pada gilirannya hilang rasa percaya dan mudah timbul persepsi dan pendapat yang berbeda yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan dan pertengkaran (syikak) dalam keluarga. Menurut penulis, bahwa yang memberikan arti dan solusi pada ”system of expectations” adalah kaidah-kaidah, yang di dalamnya terdapat; kaidah agama, kaidah hukum, kaidah sosial, kaidah moral dan  kesopanan. Kaidah-kaidah ini sangat menentukan tampilnya ”expectation” dari seseorang.

 

10. Esensi ajaran George Gurvitch;

Teori hukum ini dari kubu Neo-Positivisme. Gurvitch berpendapat ”kenyataan normatif itu adalah keadilan. Hidup dalam masyarakat hanya dapat berjalan aman, damai, dan stabil berkat hubungannya dengan keadilan. Sejumlah orang, baru menjadi kelompok yang riil, bila mereka mengalami kelompoknya sebagai suatu ”kita”. ’Aku’ dan ’engkau’ menjadi bersatu sebagai ’kita’. Ini bisa terwujud jika keadilan menjadi nilai hidup bersama yang utama. Juga dalam membentuk hukum positif, keadilan harus memegang peranan yang penting. Hukum itu mendapat arti hukum yang sesungguhnya, berkat nilai keadilan yang diwujudkannya”.[12]

Jadi kenyataan normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai perwujudan nilai keadilan dalam realitas empiris hidup bersama yang merupakan dasar materiil hubungan-hubungan sosial antara manusia, artinya bahwa tiap-tiap hidup bersama sejumlah orang mendapat bentuknya sebagai hidup berkelompok berdasarkan kenyataan normatif.

Sejalan dengan teori ini, dapat dicontohkan bahwa upaya damai yang dilakukan oleh hakim dalam bentuk ishlah itu, peran seorang  hakam atau mediator sangat menentukan dalam mengimplementasikan nilai-nilai keadilan bagi kepentingan  kedua belah pihak sebagai bagian dari kelompok masyarakat.

 

11. Esensi ajaran Jeremy Bentham.

Teori hukum ini lahir dari aliran Utilistis. Butir-butir ikhtisar dan esensi ajarannya, dapat dikemukakan  antara lain sebagai berikut;

a.Tujuan hukum perundang-undangan menurut Bentham adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu  perundang-undangan harus berusaha mencapai empat tujuan, yaitu ;

i.to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).

ii.. to provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah).

iii. to provide security (untuk memberikan perlindungan).

iv. to attain equality (untuk mencapai persamaan).

b. Tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang.

Menurut Bentham ada dua tipe studi ilmu hukum (jurisprudential study), yaitu ;

i.Expository Jurisprudence ; Ilmu hukum Ekspositor ini tidak lebih dari studi hukum sebagaimana adanya. Obyek studi ini adalah menemukan dasar-dasar dari asas-asas hukum melalui penganalisaan sistem hukum sebagaimana yang ada.

ii. Censorial Jurisprudence ;Ilmu hukum Sensorial ini merupakan studi kritis tentang hukum yang dikenal juga sebagai deontology untuk meningkatkan efektivitas hukum dan pengoperasiannya.[13].

Sejalan dengan teori ini, maka hukum yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, khususnya Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2), harus efektif pelaksanaannya dalam rangka memberikan keadilan dan perlindungan hukum  kepada para pencari keadilan.

12. Teori Hukum Responsif;

 

Teori  hukum ini lahir dan digagas oleh Nonet-Selznick. Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan, yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dalam bekerjanya hukum itu. [14]

Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick, sebetulnya ingin mengeritik model analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya berkutat di dalam sistem hukum positif.[15] Model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum Responsif sebaliknya, pemahaman mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat dan manfaat dari hukum itu.[16]. Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua doktrin utama. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.

Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif, menekankan pada ;

a. Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum

b. Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan

c. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat.

d. Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan

e. Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan

f. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum

g. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat.

h. Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum

i. Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial.[17]

Dalam konteks inilah, hukum responsif menurut Nonet-Selznick, merupakan upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang.[18] Jadi teori hukum, tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan dan perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet-Selznick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, politik hukum dan teori sosial.[19]. Teori Pound mengenai keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif itu.[20]

 

13. Teori Hukum Progresif;

Teori hukum progresif, tidak lepas`dari gagasan Prof.Satjipto Rahardjo, yang galau dengan cara penyelenggaraan hukum di Indonesia. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Hukum progresif menganut ideologi, hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan, untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu dalam fora kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya,[21]

Hukum progresif, seprti juga intressenjurisprudenz, tidak sekali-kali menafikan peraturan yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran freirechtslehre. Meski begitu, ia tidak seperti legisme yang mematok peraturaan sebagai harga mati atau analytical jurisprudence yang hanya berkutat pada proses logis-formal.[22]. Hukum progresif itu merangkul, baik peraturan maupun kenyataan dan kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan secara matang dalam setiap pengambilan keputusan.

Perhatian hukum progresif dan legal raelism pada tujuan dan akibat hukum, memperlihatkan suatu cara pandang etis yang dalam etika disebut etika teleologis. Cara berpikir teleologis ini bukan tidak mengacuhkan hukum. Aturan itu penting, tapi itu bukan ukuran terakhir. Yang lebih penting ialah tujuan dan akibat. Sebab itu pertanyaan sentral dalam etika teleologis, ialah apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang baik, dan apakah tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik. Kiranya jelas, baik hukum progresif maupun intressenjurisprudenz dan legal realism, memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu semangat menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan utama dari hukum.

Karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat dengan social engineering dari Roscoe Pound. Oleh para penganutnya, usaha sosial engineering ini dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan masyarakat.

Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan krusial dalam hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks keterbelengguan dimaksud, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan) dalam berbagai persoalan hukum yang timbul di kalangan masyarakat. Dan hal ini sangat bergantung pada diskresi dari para pelaku penegak hukum, ia dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak, berdasarkan pendekatan moral dari pada ketentuan-ketentuan formal.

 

III. Kesimpulan.

Teori-teori dan konsep hukum yang ada di Indonesia yang merupakan produk dunia Barat, harus dikaji secara lebih komperhensif dan mendalam serta disesuaikan dengan teori-teori dan konsep hukum timur dan juga teori-teori hukum Islam. Teori dan konsep hukum Barat yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia harus diterima secara lapang dada dan dinilai sebagai khasanah kekayaan  hukum Indonesia. Sebaliknya teori-teori dan konsep hukum yang bertentangan dengan nilai budaya dan hukum yang hidup dalam masyarakat, harus ditolak dengan tegas atas keberlakuannya di Indonesia.

Kiranya jelas, diskresi bagi penyelenggara hukum atau penegak hukum merupakan faktor wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggung  jawab dengan menggunakan pertimbangan moral dari pada peraturan abstrak, karena tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum, seringkali begitu kabur, sehingga memberi kesempatan kepada pelaksananya untuk menambahkan dan menafsirkan sendiri dalam konteks situasi yang ia hadapi, dan di sinilah peran teori hukum dalam memecahkan persoalan hukum yang dihadapi  dan di sini pulalah, perlunya diskresi yang merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.

2 Tanggapan

  1. Terimaksih abanganda masukannya terhadap Opini saya bertajuk CALON HAKIM AGUNG VERSUS KARIER. Opini yang selalu saya tuangkan di Majalah Forum memang sengaja pendapat PRIBADI, untuk membuktikan bahwa kita sendiri pun bisa belajar “berteori” menjadi seorang “tokoh” misalnya, terkecuali saya menulis untuk karya ilmiah pastilah saya menggunakan teori/doktrin/pendapat para ahli.

    Jika abanganda berkenan membaca buku terbaru saya judul: Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia”, Terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama, Gramedia Kompas disana cukup banyak teori/doktrin hukum.

    Namun bagaimanapun abanganda, saya berterimkasih atas apresiasinya terhadap tulisan saya tersebut. Setidaknya menjadi masukan yang berharga bagi saya.

    Terimakasih

    Dr. Binsar Gultom, SH, SE, MH

  2. ternyata…..

    _// tidak mudah jadi Hakim….

Tinggalkan komentar