Dampak Perkawinan dibawah Tangan Bagi Perempuan dan Anak Dalam Perspektif Hukum Perkawinan di Indonesia

|Drs. H. ABD. CHOLIQ, SH, MH(Ketua Pengadilan Agama Cilacap)|

1. PENDAHULUAN

Banyak dibicarakan orang di Kampung-kampung, di Desa-Desa, di Kota-Kota baik Kota kecil maupun Kota besar, jika ada orang yang melaksanakan perkawinan sesuai dengan agamanya, syarat rukunnya telah terpenuhi menurut ketentuan agamanya tersebut, namun perkawinan itu tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama ( bagi yang beragama Islam ), orang–orang memperbincangkan bahwa yang bersangkutan adalah telah melaksanakan KAWIN/NIKAH SIRRI.

Timbul sebuah pertanyaan apakah benar yang seperti itu dinamakan nikah/kawin sirri ? agak sulit memang untuk memberikan jawabannya karena pengertian yang diberikan publik/masyarakat tentang perkawinan semacam itu seakan sudah memiliki hak paten, sudah membudaya, sudah mengakar sebagai sebutan-sebutan yang baku tidak bisa di otak-atik lagi.

Penulis tidak bisa memberikan definisi yang pasti, namun tak ada salahnya kalau mengambil pendapat orang lain, mari kita baca.

2. PENGERTIAN

Menurut Ibnu Taimiyah yang diterjemahkan  dari teks aslinya oleh Rusnan Yahya, berdasarkan pertanyaan seseorang kepada Syaikhul Islam Rahimahullah Ibnu Taimiyah mengenai pertanyaan yang berkaitan dengan seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan cara mushafahah yakni Nikah sirri yaitu nikah yang tanpa wali dan tanpa saksi, dengan maskawin lima dinar, setiap tahun setengah dinar, dan ia telah tinggal bersamanya dan mencampurinya. Apakah perkawinan itu sah atau tidak ? Ibnu Taimiyah menjawab :  Segala puji bagi Allah, apabila laki-laki itu mengawini perempuan dengan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya, maka menurut kesepakatan para Imam bahwa pernikahan itu adalah bathil, bahkan menurut para Ulama, karena “LA NIKAHA ILLA BIWALIYYIN” “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali” (Hadits riwayat Bukhori dalam Kitab Shohihnya) dan “INNAMA IMROATIN TAZAWWAJAT BIGHOIRI IDZNI WALIYYIHA FANIKAHUHA BATHILUN, FANIKAHUHA BATHILUN, FANIKAHUHA BATHILUN”.

“Perempuan yang mana saja kawin tanpa izin walinya maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal” (Hadits riwayat Abu Dawud dalam Kitab Sunannya). Pernikahan/Perkawinan sirri adalah sejenis pernikahan/Perkawinan pelacur, pernikahan sirri itu termasuk jenis dzawatil akhdan (perempuan yang mempunyai laki-laki piaraan), maka disyareatkan laki-laki meminang untuk mengawini perempuan-perempuan, oleh karena itu diantara Ulama Salaf ada yang berpendapat bahwa perempuan itu tidak bisa menikahkan dirinya, dan sesungguhnya perempuan pelacur itu ialah yang menikahkan dirinya1.

Demikian itulah pengertian Nikah Sirri/Kawin Sirri, yang salah kaprah telah berkembang ditengah-tengah masyarakat kalau nikah telah dilakukan menurut ketentuan agamanya namun tidak dicatat di KUA adalah Nikah Sirri, barangkali itu yang harus kita luruskan, oleh karena itu penulis lebih berhati-hati dengan menyebut bahwa pernikahan/perkawinan semacam itu yang tumbuh ditengah masyarakat kita lebih tepat disebut dengan Pernikahan dibawah tangan/ Perkawinan dibawah tangan.

3. PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974

Pasal 1 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Penjelasan dari pasal 1 bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertama ialah Ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk Keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2 menyebutkan, ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam ayat (2) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku2.

Jika kita memahami dengan perenungan hati dan pemikiran akal sehat terlintas bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut diatas adalah mengandung tujuan kemaslahatan kedepan dalam suatu perkawinan, bukan sekedar mendapatkan suatu kesenangan, kenikmatan lahiriyah sesaat dan kelezatan jasmaniah,

bukan perjalanan yang sementara namun memiliki konsekwensi jauh kedepan, berfikir bagaimana keturunan kita, bagaimana pemeliharaan dan pendidikannya, bagaimana agar perkawinan yang dilaksanakan berkekuatan hukum sesuai dengan hukum yang berlaku dan mengikat setiap warga negara yang taat hukum karena diatur dalam sebuah Undang-undang yang telah diumumkan dalam lembaran negara.

Kemaslahatan kedepan dalam perkawinan itu harus kita pahami mashlahah/kemaslahatan dalam pengertian hukum, bukan dalam pengertian bahasa(umum), kalau dalam pengertian bahasa merujuk kepada pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu, sedangkan mashlahah/kemaslahatan dalam pengertian syara’ yang selalu menjadi rujukan dan ukurannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda, tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindarkan segala hal ketidaksenangan3.

Undang-Undang yang berlaku di Indonesia yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merumuskan Perkawinan tersebut diatas, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

  1. Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal yang demikian menolak adanya perkawinan sesama jenis yang pada zaman ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat.
  2. Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam rumahtangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
  3. Dalam rumusan tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan yang bersifat temporal sebagaimana berlaku dalam perkawinan mut’ah adan perkawinan tahlil.
  4. Disebutkan pula berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa ,menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama4.

Dengan demikian bahwa perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan membawa kemaslahatan warga negara Republik Indonesia dengan dicatatkannya perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. PENDORONG PELAKU PERKAWINAN DIBAWAH TANGAN

Dalam persoalan hukum keluarga masih sering dipermasalahkan mengenai perkawinan yang tidak dicatat atau tidak didaftarkan dari berbagai akibat hukumnya. Sebagian orang berpendapat bahwa untuk menghapuskan atau mengurangi volume perkawinan dibawah tangan perlu atau harus dilonggarkan pembatasan poligami. Bahkan poligami tidak perlu diatur dalam perundang-undangan, dengan alasan Pertama adalah karena poligami masalah atau urusan pribadi maka negara tidak perlu membatasinya, Kedua adalah bahwa masalah perkawinan adalah masalah dayani, sehingga negara tidak mengaturnya. Sebagian orang yang lain berpendapat bahwa perkawinan itu bukan masalah perorangan (pribadi), sebab suatu perkawinan selalu melibatkan keluarga dari kedua calon mempelai. Selain itu pula bahwa perkawinan berkait langsung dengan ketertiban dan ketenteraman masyarakat, karena itu  urusan perkawinan harus diatur oleh negara, berkaitan dengan hal tersebut, seiring dengan perkembangan hukum dan masyarakat, maka di Indonesia dibuat hukum terapan yang bercorak Indonesia5.

Hukum terapan yang bercorak Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 yang pelaksanaannya diatur oleh Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor : 154 Tahun 1991, yang secara jelas diatur dalam pasal 4 sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, namun untuk terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) bahkan setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (pasal 5 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1)6.

Meskipun masyarakat mengetahui dan memahami bahwa pencatatan perkawinan mewujudkan agar perkawinan bagi masyarakat menjadi tertib dan terlindungi oleh hukum yang berlaku, namun dikalangan  sebagian anggota masyarakat karena memiliki kepentingan-kepentingan tertentu yang bercorak individual sehingga

mereka berupaya menghindar dan lari dari ketentuan Undang-Undang tidak mau mencatatkan perkawinan tersebut, sebagai pendorong perilaku semacam ini, diantaranya adalah :

  1. Terjadi dikalangan anggota masyarakat yang ingin berpoligami atau ingin beristeri lebih dari satu, secara diam-diam agar tidak diketahui oleh  pihak isteri dan atau anak-anak , jika rencana perkawinan tersebut diketahui oleh isteri dan atau anak-anak maka perkawinan bisa gagal sebab bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengharuskan  seorang suami apabila ingin beristeri lebih dari satu orang harus mengajukan permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama7.
  2. Terjadinya Perkawinan dibawah tangan karena berbagai alasan, seperti alasan membantu wanita miskin, tidak merasa cukup atau merasa bosan dengan isterinya yang ada atau lain-lain alasan yang sesungguhnya bermotifkan hawa nafsu, yang disebabkan karena suami tidak berhasil mendapatkan persetujuan dari isteri atau isteri-isterinya, atau tidak tega, atau karena berbagai alasan tidak berani minta persetujuan. Bahkan adapula perilaku suami menikah dibawah tangan sengaja mencari gara-gara menciptakan rumah tangganya menjadi kacau, tidak harmonis sering terjadi pertengkaran antara suami isteri yang melibatkan kehadiran pihak ketiga dengan menikah dibawah tangan, yang kemudian mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama8.
  3. Terjadinya perkawinan dibawah tangan agar gaji pensiun janda tidak hilang, seorang perempuan yang suaminya meninggal dunia, sedangkan suami adalah Pegawai Negeri Sipil misalnya, maka perempuan janda tersebut mendapatkan pensiunan, kemudian datang sang kumbang jantan melamarnya dan ingin menjadikan perempuan tersebut sebagai isterinya, namun agar pensiunannya tidak hilang maka menikahlah mereka dengan cara dibawah tangan.

5. DAMPAK PERKAWINAN DIBAWAH TANGAN

Dari aspek hukum, perkawinan dibawah tangan mempunyai dampak negatif bagi perempuan yang menjadi isterinya maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, oleh karena itu haruslah dihindarkan.

Perkawinan dibawah tangan jelas tidak mempunyai kekuatan hukum, masing-masing suami isteri tidak memiliki surat Akte Nikah , Pemerintah dalam hal ini Kantor Urusan Agama Kecamatan (bagi yang beragama Islam dan menikah secara Islam) tidak memberikan kepada mereka Kutipan Akte Nikah sebagai pegangan dan bukti telah melaksanakan pernikahan yang sah.

Dampak negatif bagi perempuan (seorang isteri) apabila dalam perjalanan membina rumah tangga terjadi ketidak harmonisan, perselisihan, pertengkaran sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT), seorang isteri merasa tersiksa dan tertekan hidup dengan suaminya, padahal selama berumah tangga suami isteri telah memiliki harta bersama yang dikuasai oleh suaminya, seorang perempuan sebagai isteri tidak akan dapat menuntut haknya dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Agama sebab tidak memiliki bukti sah pernikahannya.

Sebagai ilustrasi sebuah pengalaman penulis pada saat bertugas di  Pengadilan Agama  sebagai Panitera Kepala sekitar Tahun 1985, ada seseorang (A) datang berkonsultasi sambil menangis mengutarakan maksudnya, yaitu ingin agar anak perempuannya  (B) bisa bercerai dengan suaminya(C) , suaminya sangat jahat, suka menyakiti badan jasmani isterinya, tidak menghormati mertuanya, bersifat kasar, jika diceraikan akan berbuat lebih menyakitkan, waktu itu penulis bertanya kepada (A) tsb yaitu : Apakah anak bapak mempunyai Buku Kutipan Akte Nikah ? ia menjawab : tidak. Penulis bertanya lagi : anak bapak nikah pada tahun berapa ? ia menjawab : nikah tahun 1980 dan sudah punya anak 1 orang. Penulis tanya lagi : nikahnya di KUA mana ? ia menjawab : tidak di KUA tetapi saya nikahkan sendiri tidak melalui KUA. Penulis kemudian berusaha mengingatkan dan meluruskan, apakah bapak merasa sebagai warga negara yang baik ? ia menjawab : ya. Penulis melanjutkan : begitulah bapak, seandainya dulu bapak taat kepada peraturan perundang-undangan untuk mencatatkan perkawinan anak bapak, mendaftarkan perkawinan ke Kantor Urusan Agama , perkawinan anak bapak akan mempunyai kekuatan hukum dan anak bapak akan dapat mengajukan tuntutannya ke Pengadilan Agama jika suaminya berbuat sewenang-wenang. Selanjutnya(A) menyadari dengan penuh penyesalan.

Adapun dampak negatif bagi anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan dibawah tangan, diantaranya akan mengalami kesulitan mendapatkan akte kelahiran sebagai anak dari bapak dan ibunya karena tidak memiliki Akte Nikah, namun akte kelahiran itu bisa didapatkan hanya ada nama ibunya saja tanpa nama ayahnya, kasihan nasib anak itu. Disamping itu jika ayahnya menikah lagi secara sah dengan perempuan lain dan punya anak juga, kemudian ayahnya meninggal dunia, terjadilah sengketa waris, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan dibawah tangan akan mengalami penderitaan tidak dapat mengajukan tuntutan atas hak warisnya di Pengadilan Agama.

Demikianlah contoh gambaran kecil dampak negatif (madhorot) perkawinan dibawah tangan bagi perempuan dan anak-anak, barangkali masih banyak dampak negatif lain yang lebih besar, kemadhorotan harus dihilangkan, sangsi yang tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku harus diwujudkan sehingga dapat dijadikan kaca bagi yang lain untuk tidak melakukan perkawinan dibawah tangan, semoga Indonesia dapat mewujudkan peraturan perundang-undangan bidang perkawinan  yang disertai sangsi atas pelanggaran dan tindak kejahatan sepadan ( bukan sangsi yang sangat ringan seperti yang tercantum dalam pasal 61 UU N0. 1 Tahun 1974 dan pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975 ) sehingga dapat  membawa kemaslahatan bagi ummat.

6. PENUTUP

Peraturan perundangan-undangan tentang perkawinan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal perkawinan dibawah tangan, ketentuan Undang-Undang bahwa perkawinan didaftarkan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), guna menjamin ketertiban dan membawa kemaslahatan hidup berumah tangga, perkawinan dibawah tangan banyak membawa dampak negatif (madorot), suami isteri tidak memiliki akte nikah sebagai bukti perkawinan yang sah, perempuan sebagai isteri dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum serta tidak mendapatkan kepastian hukum dari perkawinan tersebut  dalam kehidupannya.

(Makalah ini disampaikan pada Seminar sehari dengan Tema Pokok “Dampak Nikah Sirri bagi Perempuan dan Anak” pada hari Kamis Tanggal 15 April 2010 di Aula Pemda Kabupaten Cilacap dalam rangka Ultah Hari Kartini ke 131, yang diselenggarakan oleh Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Cilacap bekerja sama dengan Pusat Studi Gender IAIIG Cilacap).


  1. Hukum-Hukum Perkawinan, Ibnu Taimiyah, Penerjemah Rusnan Yahya, Pustaka Al Kautsar, Cet. I, Jakarta, hal. 202-203.
  2. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cet. Ke 3, Tahun 1993, hal. 123, 124 dan 143
  3. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Dr.H.Abdul Manan, SH, S.IP, M.Hum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 263
  4. Garis-Garis Besar Fiqh, Prof.Dr.Amir Syarifuddin, Prenada Media, Jakarta, Cet. 2, hal. 75-76
  5. Hukum Keluarga di Negara Muslim Modern, Syamsuhadi Irsyad, Suara Uldilag MARI, Vol II, 5 September 2004, Jakarta, hal. 29
  6. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cet. Ke 3, Tahun 1993, hal. 307
  7. Nikah Talak di “Bawah Tangan”, Dr. H. Muhammad Abduh Malik, Mimbar Hukum, Al Hikmah &DITBINPERA, No. 64, Thn XV 2004, Mei-Juni, hal. 120.
  8. (Ibid, hal 122).

Tinggalkan komentar